Dian Purba; Ketua Pusat Studi Seni, Budaya dan Keagamaan IAKN Tarutung.
Kita
niscaya membutuhkan dua tokoh ini guna melacak sepak terjang Pancasila sebagai
dasar kita berbangsa dan bernegara: Sukarno dan Suharto. Di tangan mereka
berdua Pancasila mendapatkan perlakuan berbeda. Tentunya dengan interpretasi
masing-masing. Mencoba membahas Pancasila tanpa menghadirkan kedua tokoh itu
sama saja dengan mencoba membuat nasi goreng tanpa nasi.
Pancasila
nyaris ditinggalkan siswa karena pengajarannya tidak menarik. Kondisi ini
bertambah parah karena teramat banyak jumlah anak didik kesulitan sekadar
mengurut melafalkan setiap silanya dengan benar. Kita harus memahami ini
sebagai akibat dari sebuah kesengajaan yang sudah berlangsung cukup lama. Dan
itu terjadi di jaman di mana segala sesuatunya mengacu pada mantra pertumbuhan
ekonomi, pembangunan, dan stabilitas politik: Orde Baru. Barangkali tidak
terlalu salah mengatakan proses itu masih berlangsung hingga kini.
Semua
perangkat yang diperlukan untuk mengaburkan jasa besar Sukarno sebagai penggali
Pancasila dikerahkan sedemikian rupa sehingga setiap anak didik berkata lain
dari sejarah sebenarnya. Terkesan Sukarno tidak cukup besar untuk menelurkan
gagasan yang kini kita jadikan sebagai dasar negara itu. Dan itulah yang kita
saksikan sepanjang Orde Baru dengan setia menjalankan semua cara demi
mempertahankan kekuasaan itu di segelintir orang saja selama tiga dasawarsa
lebih. Jalan yang dipilih: memperkecil jasa Sukarno dan memperbesar kehebatan
Suharto.
Asvi
Warman Adam (2004) menulis, kontroversi lahirnya Pancasila dimulai awal Orde
Baru dengan terbitnya buku Nugroho
Notosusanto, Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan
Pancasila jang Otentik (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan,
1971). Menurut Nugroho, ada empat rumusan Pancasila: disampaikan Mohammad Yamin
29 Mei; Sukarno (1 Juni 1945); berdasarkan hasil kerja Tim Sembilan yang
dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945); dan seperti termaktub dalam UUD
1945 (18 Agustus 1945).
Nugroho
berpendapat, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945
karena Pancasila seperti dalam pembukaan UUD 1945 dilahirkan secara sah
berdasarkan Proklamasi tanggal 18 Agustus 1945. Nugroho berdalih, lahirya
Pancasila tidak perlu dikaitkan dengan tokoh secara mutlak. Tentang ini, kita
tilik saja pidato Bung Karno pada peringatan lahirnya Pancasila ke XIX 1 Juni
1964 di Jakarta (Filsafat Pancasila
Menurut Bung Karno, 2006). "Ada apa dengan diriku sekarang ini?" kata
Sukarno. Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan,
padahal toh sudah saya sering katakan
bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekadar penggali Pancasila daripada
bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu,
saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia.
Mari
kita lacak pidato presiden pertama Indonesia ini tentang Pancasila tanggal 1
Juni 1945 di muka rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Tubapin: Tudjuh Bahan2 Pokok Indoktrinasi,
1961). Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (PPKI) mengajukan permintaan kepada
sidang PPKI untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Sebelum memaparkan
dasar Indonesia merdeka, terlebih dahulu Sukarno mengartikan perkataan merdeka
itu.
Menurut
Sukarno, merdeka ialah political
independence. Sukarno tidak sependapat dengan PT Soetardjo yang mengartikan
merdeka sebagai: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka. Political independence itu diumpakan
seperti satu jembatan. Jembatan emas yang akan menyebrangkan rakyat Indonesia
menemui masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.
Sukarno menolak ajakan bahwa untuk memerdekakan sebuah bangsa hendaknya
terlebih dahulu rakyatnya berbadan sehat, pemudanya kuat. Karena menurut
Sukarno, di seberang jembatan emas itulah, di dalam Indonesia merdeka itulah,
kita menyehatkan rakyat, kita mengerahkan segenap masyarakat untuk
menghilangkan berbagai penyakit, kita melatih pemuda supaya menjadi kuat.
Lantas
Sukarno tiba di inti pidatonya: dasar negara Indonesia merdeka. Dasar pertama
adalah dasar kebangsaan. Kebangsaan berarti tidak untuk mendirikan sebuah
negara berdasarkan agama, bukan pula berdasarkan satu golongan. Melainkan suatu
negara buat semua. Melainkan satu kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera
sampai ke Irian.
Sukarno
mencium kelemahan kebangsaan ini karena kemungkian orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme: paham yang melahirkan kebangsaan yang
menyendiri, paham yang menganggap bangsa lain tidak memiliki harga sama sekali.
Sukarno sangat menekankan bahwa Tanah Air Indonesia hanyalah satu bagian kecil
saja dari dunia. Inilah yang disebut Sukarno dengan dasar kedua:
internasionalisme. Kebangsaan dan internasionalisme bagaikan saudara kembar:
internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Dasar
ketiga adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara
Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu
golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita yakin, bahwa syarat yang mutlak
untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Sukarno
mengajak semua agama untuk berkobar-kobar menggerakkan segenap rakyat agar
mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan ke dalam perwakilan itu. Islam
hendaknya membicarakan tuntutan-tuntutan Islam di permusyawaratan itu. Demikian
juga dengan Kristen, Hindu, dan Budha.
Dasar
keempat yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di
dalam Indonesia merdeka. Sun Yat Sen, seorang pemimpin nasionalis Tiongkok,
menjadi sumber inspirasi Sukarno yang merangkum tiga ideologi: nasionalisme,
demokrasi, dan sosialisme. Dengan berkobar-kobar Sukarno berujar: Apakah kita
mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua
rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam
kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi
sandang-pangan kepadanya.
Lebih
lanjut Sukarno: Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie, yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial. Politik demokrasi ekonomi yang dimaksud Sukarno tidak
semata-mata persamaan dalam politik, melainkan juga persamaan di lapangan
ekonomi, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Menyusun Indonesia
merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prinsip kelima yang
diajukan Sukarno. Prinsip ini menjelaskan bahwa Indonesia bukan saja bertuhan,
tetapi juga masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan sendiri. Kristiani
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, kaum Muslim bertuhan menurut
petunjuk Nabi Muhammad s. a. w., orang Budha dan Hindu menjalankan ibadatnya
menurut kitab yang ada padanya. Hendaknya pula segenap rakyat bertuhan dengan berkebudayaan,
yakni dengan tidak mengedepankan egoisme agama.
Sepertinya Sukarno begitu
gandrung dengan angka lima mengingat Rukun Islam ada lima, indera pun terdiri
dari lima. Inilah yang membuat dia awalnya menamakan lima mutiara galiannya itu
Panca Dharma. Karena Dharma memiliki arti kewajiban, dengan demikian tidak
tepat mewakili kata dasar, dia lantas menggantinya menjadi Panca Sila: lima
asas atau dasar. Kemudian Sukarno menawarkan lima sila itu menjadi tiga sila
saja apabila ada dari anggota PPKI kurang begitu senang dengan angka lima.
Ketiga sila itu: sosial-nasionalisme; sosial-demokrasi; dan ketuhanan. Andai
angka tiga kurang berkenan, Sukarno kemudian memerasnya menjadi satu sila saja:
gotong royong.
Dengan
demikian benarlah Asvi Warman Adam yang menuliskan bahwa memang ada tokoh lain
yang berbicara tentang dasar negara, tetapi hanya Sukarnolah yang secara
eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, bahkan termasuk nama
Pancasila.
Orde
Baru dan Pancasila
Barangkali tidak ada yang
teramat penting bagi Orde Baru selain mengibaratkan peristiwa Gerakan 30
September itu sebagai ajang untuk membuktikan bahwa Pancasila itu sakti
mandraguna. Inilah kemudian yang melahirkan Hari Kesaktian Pancasila dirayakan
tiap 1 Oktober. Yang kita saksikan kemudian adalah, tentu mengatasnamakan
kesaktian Pancasila, pembantaian massal kepada mereka anggota Partai Komunis Indonesia, simpatisan
PKI, pendukung Sukarno, dan semua yang dianggap
ada hubungannya dengan gerakan kiri. Beberapa sejarawan menyebut angka
mengerikan jumlah korban pembantaian, berkisar tiga juta orang. Apakah
Pancasila menunjukkan kesaktiannya lewat membunuh jutaan orang?
Bahwa ada unsur PKI
terlibat dalam Gerakan 30 September, tidak dengan sendirinya membenarkan
perbuatan biadab itu. Karena menurut John Roosa (2006), PKI tidaklah terlibat
secara partai, melainkan hanyalah keterlibatan beberapa elit partai itu saja
atas nama pribadi. Yang dikaburkan oleh peringatan itu ialah kekerasan yang
jauh lebih besar yang dilakukan kepada pendukung komunis segera sesudah usaha
kudeta.
Katharine E. McGregor
dalam bukunya Ketika Sejarah Berseragam (2008),
menyebutkan hari-hari peringatan adalah bagian yang penting dari kegiatan
menempa ingatan nasional. Orde Baru lewat militer menggunakan sejarah untuk
membenarkan peran politik mereka, karena itu sumber-sumber militer Indonesia
lebih tepat digambarkan sebagai melakukan pelembagaan terhadap ingatan resmi. Efek lanjutan dari dominasi militer dalam ranah politik, pun penulisan sejarah
lewat Pusat Sejarah ABRI yang dimotori Nugroho Notosusanto, memaksa masyarakat
sipil menaati versi sejarah yang dibesar-besarkkan mengenai peran militer dalam
sejarah.
Sikap munafik yang
terdapat dalam upaya rezim mengaitkan dirinya dengan pelaksanaan Pancasila secara murni, suatu
filsafat yang mencakup prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dan prinsip "keadilan sosial", Katharine lebih lanjut, hanya bisa disadari sepenuhnya
dengan mencermati tindakan yang mereka ambil saat itu terhadap musuh-musuh
rezim, terutama orang komunis atas nama menegakkan Pancasila.